Animasi Naruto vsSasuke

gambar

Hujan Salju

Efek Petir

WELCOME IN CHURCH BLOG

Efek kursor bintang jatuh

Selasa, 23 Oktober 2012

Sekilas Gereja

Sekilas : Kitab Suci, Tradisi Suci, Hirarki, Dogma, Ritual Ibadah dan Hukum Gerejawi
dari mailing list Api Katolik posting tanggal 10 Januari 2003





1. Kitab Suci
Meskipun Gereja Yang Satu telah terpecah sejak 381 AD dan kini terdapat puluhan ribu denominasi Gereja, baik yang berafiliasi/korelasi maupun mandiri; tetapi Kitab Suci gereja2 dapat dikategorikan sebagai berikut:

I. Kitab Suci Canon Alexandria : 46 PL + 27 PB

1. Gereja Katolik : terbagi dalam 4 Ritus dan puluhan Sub-Ritus
2. Gereja Orthodox : terbagi dalam puluhan "Gereja Bangsa"
3. Gereja Coptic : terbagi dalam 3 Sub-Ritus
4. Sede Vacantist : Pecahan dari Gereja Katolik = True Catholic Church
5. Levebvrist : Pecahan dari Gereja Katolik = Gereja Perancis
>>> KS yang digunakan berdasarkan pada Septuagint [Yunani]/Vulgata [Latin]
Penafsiran KS dibawah bimbingan Magisterium Fidei [guru iman] yaitu Hirarki Gereja;
bukan penafsiran parsial ataupun interpretasi pribadi.


II. Kitab Suci Canon Palestina : 39 PL ['mencabut' 7 kitab] + 27 PB

1. Gereja Protestan : terbagi menjadi +/- 24.000 denominasi
2. Gereja Anglican : disebut juga Gereja Inggris
>> KS yang digunakan umumnya adalah King James Version. Tujuh kitab yang dicabut [tidak diakui] dikenal sebagai Deuterokanonika [istilah Katolik] atau Apokrif [istilah Protestan].
Sedangkan kitab2 yang tidak termasuk KS disebut Apokrif [Katolik] atau Pseudepigraf [Protestan].


2. Tradisi Suci

Tradisi Suci [tradisi rasuli] dipegang sebagai pedoman disamping Kitab Suci, karena secara historis 4 abad pertama Gereja Perdana belum ada Kitab Suci yang lengkap. Pada masa para rasul bahkan hanya ada Perjanjian Lama saja; boleh dikatakan bahwa usia Gereja lebih tua 400 tahun dibanding Kitab Suci [yang baru disahkan pertamakali pada 405 AD oleh Paus Innocentius I]. Baik Gereja Katolik, Gereja Orthodox maupun Gereja Coptic berpedoman pada Tradisi Suci yang sama sejak para rasul dan Bapa2 Gereja. Hanya Protestan dan Anglican yang menolak Tradisi karena konsep Sola Scriptura [Hanya Alkitab], sehingga menolak apa-apa yang tidak "alkitabiah"; meskipun ada yang 'alkitabiah tapi ditolak' i.e. Yak 2:14-26, karena "memilih" Sola Fide [Hanya Iman] berdasar interpretasi Rom 3:21-31 dan Rom 4:13-16.
>> Karena menolak Tradisi maka dalam Protestan tidak dikenal istilah Sakramen, Santo-santa [Hagios-Hagia], selibat klerus, dsb.



3. Hirarki
Meskipun telah terjadi pemisahan, tetapi hal itu tidak menghapuskan Hirarki Gerejawi pada Gereja Orthodox dan Gereja Coptic; hanya saja mereka tidak mengakui Uskup Roma [Paus Katolik] sebagai pimpinan tertinggi Gereja [Primat]. Salah satu "pemicu" pemisahan adalah perbedaan pengertian "keutamaan Uskup Roma" yang diakui sejak Gereja Perdana yang masih "Pentarchi" [5 Patriarchat Utama: Roma, Constantinopel, Antiochia, Alexandria dan Yerusalem]. Bagi Gereja Latin [Roma] makna keutamaan itu adalah "Primat Apostolik" [pimpinan faktual] sedangkan bagi Orthodox dan Coptic adalah "Primus inter pares" [Yang utama dari yang setara - pimpinan simbolis].


1. Hirarki Katolik :

Pusat di Vatican - Pontifex Romanus [Paus] Johanes Paulus II
Paus - Patriarkh/Kardinal - Uskup Agung/Metropolitan - Uskup - Pastor - Diakon

2. Hirarki Orthodox :

Pusat di Constantinopel - Oikumenikon Patriarkh Bartholomew I
Patriarkh/Katholikos/Ermiadzin - Metropolitan - Episkopos - Hegomen - Diakonos

3. Hirarki Coptic :

Pusat di Alexandria - Paus Shenouda III
Paus - Arkhepiskopos - Episkopos - Abouna [Archpriest] - Hegumen - Diakonos

4. Hirarki Anglican :
Pusat di Canterburry - Pimpinan Gereja = Raja/Ratu Inggris
Raja/Ratu - Archbishop of Canterburry - Bishop - Priest - Deacon

5. Denominasi gereja2 Protestan pada umumnya tidak mengenal Hirarki, kecuali denominasi2 Lutheran, Episcopal dan Presbyterian.



4. Dogma
Dogma [doktrin iman] bisa disebut sebagai penjabaran teologis atas ayat2 KS, dalam hal dogma
terdapat beberapa perbedaan antara Gereja Orthodox dan Gereja Coptic dengan Gereja Katolik a.l :
1. Tidak mengakui doktrin Api Penyucian [Purgatorium]. [Ortodoks tidak mengakui Api Penyucian tetapi mereka mempercayai ada tempat penyucian bagi orang yang sudah meninggal]
2. tidak mengakui Maria Sejak Dikandung Tak Bernoda [Maria tidak berdosa hanya sejak mengandung Yesus]
Namun kira-kira 85% dogma ketiga cabang Gereja ini sama.

Dalam denominasi2 Protestan, lebih ditekankan kepada 3 Sola [Sola Scriptura, Sola Fide dan Sola Gratia], sedangkan "doktrin" lainnya bersifat spesifik [i.e. Baptist menekankan pembaptisan, Advent menekankan penantian kedatangan Kristus, dsb].



5. Ritual Ibadah
Ritual ibadah yang digunakan pada gereja2 Katolik, Orthodox dan Coptic berdasarkan kepada Tradisi Rasuli; meskipun dalam perkembangan selanjutnya dilakukan perubahan2 [penambahan atau pengurangan],
tetapi intinya tetap sama yaitu Liturgi Missa yang terdiri dari Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi.

1. Gereja Coptic memakai Liturgi Santo Markus
2. Gereja Orthodox memakai Liturgi Santo Yohanes [Krisostomos]
3. Gereja Katolik memakai varian dari Liturgi St. Yohanes [Krisostomos], menjadi Liturgi Latin [kecuali Gereja Katolik Byzantine memakai liturgi Orthodox dengan penyesuaian]
Liturgi Missa dalam gereja2 di atas bersifat Universal.
Disamping Liturgi Missa, ada Adorasi dan Devosi [kepada orang suci], dsb.
4. Gereja2 Protestan tidak mempunyai 'keseragaman' dalam Liturgi, i.e Anglikan dan Lutheran masih 'ada mirip' Katolik; Calvinis/Reformed mengutamakan kotbah [sermon].
Perbedaan utama Perjamuan Kudus Protestan dari Liturgi Missa:
1. Tidak ada "Tubuh Mistik Kristus" dan tidak ada Trans-substansi setelah Konsekrasi :
roti tetap roti, anggur tetap anggur
2. Perjamuan Kudus pada banyak denominasi tidak dilakukan setiap Minggu; tetapi setiap
Minggu ada Kebaktian [Worship].
3. Tidak ada ibadah lain [adorasi, devosi, dsb]
4. Perjamuan Kudus hanya mengenang Perjamuan Terakhir



6. Hukum Gerejawi
Hukum Gerejawi atau Hukum Kanonik diawali sejak Gereja Perdana, kemudian ada penambahan2 atas prakarsa para Bapa Gereja dan hasil pada setiap Konsili; sehingga akhirnya dikompilasi menjadi Kitab Hukum Kanonik. Setelah terjadi Schisma [pemisahan Gereja], maka Hukum Kanonik berlaku khusus untuk suatu cabang Gereja [Katolik, Orthodox, Coptic] namun bersifat Universal. Gereja2 Protestan tidak mempunyai Hukum Gerejawi, karena setiap denominasi bersifat mandiri dan mempunyai aturan masing-masing.



Resume :
Dengan melihat keenam aspek di atas, dan mungkin ada aspek2 lain, maka dapat kita pahami mengapa Gereja2 Universal yang 'ortodox' dan hirarkis [Katolik, Ortodox, Coptic] lebih bisa mempertahankan 'kesamaan visi' [dogma/doktrin iman] dan kesatuan gereja; sementara gereja Anglican lebih bersifat spesifik khas Gereja Inggris dan mengapa denominasi2 baru dalam Protestan atau Pentekostal lebih mudah dilahirkan.
 

Senin, 22 Oktober 2012

SEKILAS PEZIARAHAN GEREJA KATOLIK DI SUMATERA SELATAN

SEKILAS PEZIARAHAN GEREJA KATOLIK DI SUMATERA SELATAN
Rabu, 14 September 2011 –
Palembang-humas, Secara organisasi, umat Katolik di Provinsi Sumatera Selatan disatukan dalam apa yang disebut dengan Keuskupan Agung Palembang (selanjutnya disingkat: KAPal). Namun demikian, secara wilayah umat KAPal mencakup juga wilayah Provinsi Jambi dan Bengkulu. Bahkan dalam sejarah perkembangannya, umat Katolik KAPal juga erat terkait dengan sejarah umat Katolik di Provinsi Lampung dan Bangka-Belitung (Babel). Tulisan ini hendak mengungkapkan secara singkat perjalanan umat Katolik KAPal, dan secara khusus terfokus pada umat di Provinsi Sumatera Selatan saja. Dengan istilah peziarahan dimaksudkan bahwa perjalanan sejarah dan perkembangan umat Katolik itu bukan hanya sekedar perjalanan waktu. Perjalanan itu merupakan suatu proses bagaikan suatu ziarah, yang dilandasi oleh keyakinan imannya.
Sebagai jalur rute perdagangan di masa lampau, Pulau Sumatera sejak dahulu mempunyai peran penting sebagai tempat persinggahan kapal-kapal dagang. Di antara para pedagang itu seringkali ikut serta juga para penyebar agama. Atau para pedagang seringkali juga sekaligus berperan dalam penyebaran agama yang dianutnya. Tak heran bila agama-agama masuk ke wilayah Sumatera (dan Indonesia) tak lepas dari peran mereka.
Dari data sejarah, agama Kristen sudah ada di wilayah Sumatera sejak abad VII. Para ahli sejarah menandai era tersebut dengan berdirinya sebuah gereja di daerah Barus (Fansur/Pansur), Tapanuli Tengah, Sumatera Utara sekitar tahun 645. Gereja ini di bawah kepemimpinan Uskup Agung Gereja Kaldea (India). Namun perkembangan berikutnya dari gereja ini tak diketahui.
Sejarah perkembangan umat Kristen Katolik mulai tercatat kembali ketika abad ke 13 s.d. 14, para misionaris Fransiskan menjelajahi wilayah Asia. Untuk wilayah Sumatera Bagian Selatan, agama Katolik mulai berkembang ketika para pastor Italia (Ordo Theatin) melayani para serdadu Inggris dan para pedagang yang beragama Katolik di Bengkulu (1702). Saat itu Bengkulu merupakan kota pelabuhan penting yang dikuasai oleh Inggris. Para pastor saat itu hanya melayani kebutuhan rohani di wilayah benteng Inggris. Pada tahun 1762 misi di Bengkulu ditinggalkan. Wilayah Bengkulu kemudian menjadi rebutan antara Inggris dan Belanda. Dan akhirnya, tahun 1824 Bengkulu dikuasai oleh Belanda.
Sejak dikuasai Belanda karya misi Katolik di Sumbagsel dapat dikatakan terhenti. Belanda seringkali menghalang-halangi misi. Maka pelayanan rohani bagi umat Katolik saat itu cukup memprihatinkan. Kadang-kadang saja ada pastor yang melakukan perjalanan dari Sungai Selan (Bangka), Padang, atau Batavia untuk mengunjungi umat. Pada tahun 1887, misi Katolik diijinkan untuk berkarya di daerah Tanjung Sakti (± 30 KM dari Pagaralam ke arah Manna). Tanjung Sakti saat itu masuk dalam wilayah Ulu Manna, Karesidenan Bengkulu (Bengkoelen). Pastor Meurs berkarya sendirian di tengah suku Pasemah. Dalam karyanya ia berhasil menyusun Kamus Bahasa Rejang, Letterschrief der Pasemah Oeloe Manna. Pada tahun 1890 di antara penduduk telah dibaptis 8 anak dan 3 anak menjadi calon Katolik. Agar pelayanan pastoral di daerah misi lebih intensif, pada tahun 1891 Pastor Meurs dibantu oleh Bruder Vester.
Pada tanggal 8 Agustus 1891 Pastor van Meurs meninggal karena sakit keras di Tanjungsakti. Tahun berikutnya Bruder Vester pindah ke Maumere-Flores. Bulan Juni 1894, Pastor W.L. Jannisen, SJ bersama Bruder Zinken datang ke Tanjungsakti untuk melanjutkan karya para pendahulu. Umat telah berkembang menjadi 200 orang, dan pada tahun 1897 terjadi penerimaan sakramen krisma untuk pertama kalinya oleh Mgr. Staal dari Batavia.
Meski memiliki harapan yang cerah dan menjanjikan, karya misi di Tanjungsakti dihentikan. Bulan November 1898, Pastor Jannisen dipindahkan ke Padang. Beliau masih tetap mengunjungi umat Tanjungsakti beberapa kali dalam setahun, untuk meneguhkan iman mereka. Dari Tanjungsakti sebagai pos utama karya misi meluas ke Karesidenan Bengkoelen, Palembang, dan sekitarnya.
Pada tanggal 30 Juni 1911, Roma mengeluarkan dekrit tentang pemisahan wilayah misi Sumatera dari Batavia. Misi di seluruh Sumatera berpusat di Padang. Roma mengangkat Mgr. Libertus Cluts, OFM Cap, sebagai uskup Sumatera. Beliau mengemban tugas ini dari tahun 1921 hingga 1931.
Sementara itu pada tahun 1912, misi Katolik di Tanjung Sakti diserahkan dari para Jesuit kepada Ordo Kapusin. Saat itu iman Katolik telah cukup berkembang pesat di sana. Namun sekitar tahun 1914 umat Katolik banyak yang berpindah keyakinan. Saat itu pastor yang berkarya adalah Pastor Sigebertus OFM Cap dan dibantu Mr. J.C. Kielstra serta 7 suster SCMM. Bulan Agustus 1920, Pastor Mathias Brans tiba di Tanjungsakti menggantikan Pastor Sigebertus yang dipindah-tugaskan ke Padang. Pada tahun-tahun terakhir masa kekaryaan pastor-pastor Kapusin di Tanjungsakti keadaan semakin membaik. Karya misi imam-imam Kapusin berakhir setelah Imam-imam Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ) datang ke Tanjungsakti. Pada tanggal 27 Desember 1923, wilayah misi Sumatera Selatan dipisahkan dari Prefectur Apostolik Sumatera (Padang). Wilayah Sumatera Selatan berubah statusnya menjadi Prefektur Apostolik Bengkoelen. Nama ini dipilih karena Tanjung Sakti yang merupakan pos utama misi terletak di wilayah Karesidenan Bengkoelen (Bengkulu). Tanggal 28 Mei 1926, Mgr. H.L. Smeets, SCJ diangkat menjadi uskup pertama. Dan pada bulan September 1924 para missionaris SCJ yang pertama tiba di Tanjungsakti.
Selain Tanjung Sakti, pos misi saat itu adalah Palembang, Bengkulu, Tanjungkarang-Teluk Betung dan Jambi. Jumlah umat Katolik makin bertambah setelah banyaknya orang Tionghoa dan Jawa menjadi Katolik. Namun karya misi di antara suku-suku Sumatera Selatan tidak berkembang. Misi Katolik saat itu mulai berkarya di bidang pendidikan dan kesehatan.
Masa gelap misi Katolik di Sumatera Selatan terjadi ketika Sumatera (Indonesia) dikuasai Jepang. Semua misionaris Eropa (pastor, suster) ditawan oleh Jepang di Belalu (Lubuk Linggau) dan kemudian dipindahkan ke Muntok (Bangka). Banyak dari antara mereka akhirnya wafat di kamp Jepang (11 pastor, 30 suster). Namun syukurlah masa kegelapan itu tak berlangsung lama. Setelah kemerdekaan Indonesia (1945), para misionaris dibebaskan dan mereka kembali ke tempat karya semula. Kerinduan umat akan pelayanan rohani dapat terobati. Pada tanggal 19 Juni 1952, Vatikan menetapkan daerah misi Lampung terpisah dari Palembang. Misi Palembang melayani wilayah Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu (hingga sekarang). Pada tanggal 3 Januari 1961, Vatikan menetapkan Gereja Katolik Indonesia bukan lagi sebagai daerah misi. Indonesia dianggap sudah cukup mandiri untuk menghidupi dirinya sendiri. Maka kemudian dibentuklah keuskupan-keuskupan sebagai kelanjutan karya misi. Begitu juga dengan Palembang, yang semula statusnya sebagai Vikariat Apsotolik, kini menjadi Keuskupan Palembang dengan Mgr. Henri Martin Mekkelholt, SCJ sebagai Uskup pertama. Mgr. Mekkelholt selanjutnya digantikan oleh Mgr. J.H. Soudant sejak 5 April 1963 sampai 20 Mei 1997.
Pada masa kepemimpinan Mgr J.H. Soudant seturut keputusan Tahta Suci ditahbiskanlah seorang uskup pembantu yakni Mgr. Aloysius Sudarso SCJ. Setelah Mgr. Soudant memasuki masa purna jabatan, 20 Mei 1997, maka Mgr. Al. Sudarso ditetapkan sebagai Uskup Palembang. Pada tanggal 1 Juli 2003, Paus Yohanes Paulus II, menaikan status Keuskupan Palembang menjadi Keuskupan Agung Palembang, sekaligus sebagai Provinsi Gerejawi dengan wilauah mencakup Keuskupan Tanjungkarang dan Keuskupan Pangkalpinang.
Kuria Keuskupan Agung Palembang (Personalia)
Uskup Agung : Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ.
Vikaris Jenderal : Pastor Felix Astono Atmojo, SCJ.
Sekretaris : Pastor F.X. Edi Prasetya, Pr.
Ekonom : Pastor Emmanuel Belo Sede, Pr.
Alamat : Jl. Tasik 18, Palembang 30126
Website : www.keuskupan-palembang.or.id
Wilayah Keuskupan Agung Palembang Keuskupan Agung Palembang mencakup 3 Provinsi yakni Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu. Dalam pelayanan rohani bagi umatnya maka dibagilah dalam wilayah yang disebut paroki. Paroki dipimpin oleh seorang pastor kepala dengan dibantu oleh beberap pastor. Wilayah paroki tergantung dari jumlah umat yang dilayaninya, jadi tidak mengikuti pembagian wilayah pemerintahan. Maka bisa jadi wilayah paroki itu lintas kecamatan, kabupaten atau bahkan lintas provinsi. Berikut ini adalah paroki-paroki Gereja Katolik yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Penempatan paroki berdasarkan kabupaten/kota didasarkan atas letak pusat paroki yang bersangkutan.
1. Kota Palembang : 8 paroki, yakni St. Paulus (Plaju), St. Maria Ratu Rosari (9/10 Ulu), Hati Kudus (Jl. Kol. Atmo), Katedral St. Maria (Jl. Dr. Sutomo), St. Yoseph (Jl. Sudirman), Sanfrades (Sungai Buah), St. Petrus (Kenten), dan St. Stefanus (Talangbetutu).
2. Kab. OKU : 2 paroki, yakni St. Petrus dan Paulus (Baturaja), Sang Penebus (Batuputih).
3. Kab. OKU Timur : 4 paroki, yakni Trinitas (Bangunsari, BK 3), St. Maria Assumpta (Mojosari, BK 9), St. Maria Tak Bernoda (Gumawang, BK 10), dan Para Rasul Kudus (Tegalsari, BK 21).
4. Kab. OKI : 1 paroki, yakni Kristus Raja (Tugumulyo, Lempuing)
5. Kab. Musi Rawas : 1 paroki, yakni St. Maria (Mataram, Tugumulyo).
6. Kota Lubuk Linggau : 1 paroki, yakni Penyelenggara Ilahi (Lubuk Linggau).
7. Kab. Lahat : 3 paroki, yakni St. Maria (Lahat), St. Mikael (Tanjung Sakti), dan St. Yosef (Tanjung Enim).
8. Kab. Banyuasin : 1 paroki, yakni Allah Maha Murah (Jalur 20, Purwodadi).
(bimKat)

KASURAN, RUDAT, WAN TERBANGAN DI GEREJA BATUPUTEH

KASURAN, RUDAT, WAN TERBANGAN DI GEREJA BATUPUTEH

Amen kamu galak liwat di Dusun Batuputeh, gereja ini pasti neman tekinak. Gok tanggenye ye memanjang sampai ke bakal, gereja ini jadi semakin ilok di kinak'i endai bawah. Apelagi badanye ye cuma dipisahkan gok bakal di hideng Ayah Lengkayap. Kesannye jadi makin naturalis. Ibarat lukisan, mungkin inilah lukisan "Mooi Batuputeh".
foto menunjukkan bangsal genteng yang dibangun Leo Kwanten 
utk tempat wira-usaha bujang-bujang di batuputeh saat itu
foto diunduh dari  http://www.scj.org (H. Wardjito)
Sahdan, di sekitar taun 1940-an ade empat uhang di Dusun Batuputeh ye waktu itu dang gelimean. Ati dek lemak, jiwe dek tenang. Mereka itu Alwie, Abdoel Hoelik, Damseh, dan Alisyuni. Singkat cerite, mereka ini laju nyakah jeme ye pacak nenangkan jiwe dan ngubati ati dang gundah itu. Setelah dapat nasihat endai wakil residen di Baturaje, tegalah meraka ini gok Mgr Henricus Martin Mekkelholt SCJ, Vikaris Apostolik Palembang waktu itu. Mgr Mekkelholt laju ngutuskan Pastor Theodorus Borst SCJ supaye pegi ke Batuputih. ”Sejak itulah, Pastor Borst datang endai Baturaja ke Batuputih naek kerite. Seminggu sekali Pastor Borst ngajahkan kami di laman huma warge," kata Samsuddin (78), saksi idup lok ye diungkapkannye di majalah Hidup
 
foto diunduh endai "paroki sang penebus batuputeh"


Dek lame endai itu, Pastor Leo Kwanten SCJ. ye neruskan pelajaran agame di Batuputeh.  Selain ngenjok'i pelajaran agame, die juge negakkan sekolah darurat ye mak ini bekembang jadi SD Xaverius. Sambil ngajahi budak-budak bujang di Batuputeh wira usaha gok membangun bangsal genteng, berkat Leo Kwanten pule asrama Santo Yusup 
Baturaja pacak tegak sampai mak ini ahi. Pastor Leo Kwanten SCJ betugas di Batuputeh sejak  15 Juni 1949 sampai 2 Nopember 1964. 
foto diunduh endai "paroki sang penebus batuputeh"

Sampai mak ini ahi, kegiatan Gereja Paroki Sang Penebus semakin rami. Bahkan lah ade pule Pastoran ye dulu cuma ade di Baturaje. Uniknye, umat Katholik di dusun Batuputeh ini dek jarang makai kesenian terbangan* wan rudat** amen ade acara-acara untuk menyambut ahi besak Katholik. Bahkan, perayaan Natal pun diramikan gok makanan kasuran! Maklum, umat Katholik di dusun ini nangun nian asli jeme Ugan. Alhamdulillah, sampai mak ini ahi, hampir dikatekan ngatek jeme nak saling irok'i tentang perbedaan agame di dusun ini. Ini tentu kian nunjokkan, bahwa jeme Ugan sangat toleran dan demokratis mileh kepercayaannye. Lebeh-lebeh, bahwa jeme dusun Batuputeh ini juge jeme Ugan, ye mase sanak famili kite.      

foto diunduh endai "paroki sang penebus batuputeh"


Terjemahan  bahasa Indonesia 
  
neman tekinak: sering terlihat
bakal: jalan
hideng: sisi
*rudat : semacam tari-tarian yang dilakukan oleh laki-laki dalam kesenian terbangan.   
**terbangan kesenian yang konon berasal dari Hadratulmaut, jazirah Arab, yang masuk ke Kesultanan Palembang di awal penyebaran islam di Nusantara. kesenian ini menggunakan perkusi tabuh yang terbuat dari kulit binatang 
 
AKU GOK GEREJA INI TAHUN 1980-AN...
 
Aku gi kecik, sekitar tahun 1984-an, bebehape kali husek ke Gereja ini. Dulu, kakak-kakak kami di Jalan Kalam galak betanding bal-balan gok budak-budak Batuputeh. Bada betandingnye tepat di lapangan belakang Gereja. Karene aku gik jecik dekde pernah diajak bemain, diam-diam aku husek ngelilingi gereja ini.  
foto diunduh endai majalah hidup
Di sekitar tahun itu pule, aku agam dek kire amen pacak besalaman gok pastor. Maklum, mereka ini jeme-jeme Eropa ye didatangkan pastoral Baturaje untuk nelayani umatnye temasok di gereja Batuputeh. Salah sikok pastor ye galak kami salami, amen dek salah namenye Bountje. Pastor ini dulu galak ngayau ke huma Pak Mustofa Cholik (almarhum) ye humanye persis di buri humaku. Pak Mustofa ini dulu dikenal sebagai tokoh pendidikan sekaligus sosok pengagum Marhaenism. Pergaulannye dekde sebatas ulama-ulama Baturaje ye dihormati pada saat itu, tapi juge  disegani oleh tokoh-tokoh umat Nasrani di Baturaje kala itu. Maklum, beliau kuanggap liberal mungkin karene beliau ini alumni sekolah Kayu Taman- Padang, ye kite tahu merupekan perguruan pendidikan yang paling disegani di Sumatera jaman itu.
Nah, aku mase tehingat amen Bountje dang ngayau, pasti die nyelipkan duet selawi ke kantong kami (Elvin Rizano, Adreanes Yulius mase tehingat dekde kamu?). Tangannye miha, bulunye lebat, dan jaket kulit gok sarung tangannye mengagumkan. Ape agi amen beliau dang bemotor, mirip pembalap. Amen dek salah, motor beliau waktu itu Vespa gok motor besak mirip-mirip motor Harley. Ye lucu, aku ngantau beliau ini dulu kanye gok sebutan "bapa", tapi "mister!". 
Partor Bountje juge ye jadi pastor di gereja Batuputeh tahun 80-an, ye balek pegi Baturaje-Batuputeh (sekitar 10 km) untuk melayani umatnye.

Minggu, 21 Oktober 2012

Gereja Sang Penebus Batuputih

Terbangan Ogan Katolik di Batu Putih

Senin, 13 Februari 2012 14:18 WIB
musik-terbangan-hidup-katolik.jpg
HIDUPKATOLIK.com - Para pemusik ”Terbangan”, beranggotakan tujuh orang lelaki, berpakaian adat Ogan, suku asli Sumatera Selatan. Tanjak gaya Melayu di kepala, sementara kemeja putih berserasi celana panjang hitam, berbalut kemban terlilit rapi di pinggang.

Mereka berjalan di antara sekitar 500 tamu sembari menabuh rebana mencipta ritmik hentak langkah mengiringi paduan suara Colours Choir yang berprosesi dari belakang panggung.

Setelah barisan paduan suara itu menempati panggung, pemusik terbangan pun undur diri. Perlahan kidung-kidung Natal pun mengalun syahdu penuh gairah. Dan, riuh penonton pun memecah ruangan, ketika Hudson Prananjaya mulai beraksi melengkapi pertunjukan malam itu.
Acara menjelang Natal ini, di Hotel Horison Palembang, Jumat, 9/12, ini bertajuk ”Charity Concert Colours Choir” digelar untuk penggalangan dana pembangunan pastoran dan gedung serbaguna Paroki Sang Penebus Batuputih, Sumatera Selatan. Uskup Agung Palembang, Mgr Aloysius Sudarso SCJ, hadir.

Selain bertujuan mengumpulkan dana, pertunjukan ini juga menjadi kesempatan mengangkat keberadaan Gereja Sang Penebus yang terletak di pinggiran sungai Lengkayap, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Umat Gereja ini sebagian besar adalah penduduk suku asli Ogan.

Orang menyebut penduduk ini sebagai orang Ogan, karena penduduk suku ini berdomisili di sepanjang Sungai Ogan. Daerah domisili mereka dimulai dari pegunungan Bukit Barisan di Barat Daya meluas hingga ke kota Palembang di Timur Laut.

Secara lokal, suku ini disebut juga orang Pegagan yang diidentifikasi sebagai penduduk pribumi Sumatera Selatan. Fakta bahwa nama Ogan begitu penting terlihat dari lima kabupaten yang memakai nama Ogan, yakni Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur.

Kota yang menjadi pusat kehidupan suku Ogan adalah Baturaja. Letak Baturaja strategis, karena berada pada jalur kereta api dari Pelabuhan Panjang (Lampung) menuju Lubuk Linggau dan Palembang.

"Colours Choir" dalam acara penggalangan dana untuk pembangunan pastoran dan gedung serbaguna Paroki Sang Penebus Batuputih, Sumatera Selatan. [Elis Handoko]

Tradisi lokal


Terbangan merupakan salah satu warisan budaya yang dimiliki suku Ogan. Biasanya, terbangan dipadu dengan seni gerak dan vokal rudat. Dalam konteks keagamaan, umat Batuputih baru menggunakan terbangan dan rudat untuk mengiringi perarakan pada acara-acara penting. Misalnya, penyambutan tokoh tertentu, prosesi liturgis pada hari raya Natal atau Paskah. ”Karena hal praktis, malam itu terbangan ditampilkan tanpa rudat,” kata Mathias Cekwan Effendi yang malam itu menjadi salah seorang dari penabuh rebana.

Menurut Cekwan, dengan iringan musik terbangan serta rudat inilah masyarakat Ogan dulunya biasa berkumpul demi maksud tertentu. Berkumpul sambil bernyanyi, berbalas pantun atau pun bertutur. Rudat berfungsi memperindah tabuhan. Syair dan bahasa tutur meneguhkan pesan dari pertemuan tersebut.

Rudat sebenarnya mengeksplorasi gerakan pencak silat lokal. Namun, untuk keperluan pesan yang lebih membumi, Cekwan mengajak teman-temannya memodifikasi dengan gerakan lain. Yakni, gerakan yang menghembuskan nafas hidup umat yang sebagian besar adalah petani. Jadilah, dalam rudat kreasi umat Batuputih sekarang muncul berbagai gerakan ritmis seperti menanam, mencangkul, memanen dan sebagainya. Untuk meneguhkan pesan isi bahasa tutur, musik terbangan dan rudat pun berkembang. Hingga lagu-lagu rohani dan gerejani pun memakai bahasa setempat.

Gereja Ogan

Gereja Sang Penebus Batuputih bermula sekitar tahun 1940, berangkat dari kegundahan batin empat tokoh setempat, yaitu Alwie, Abdoel Hoelik, Damseh, dan Alisyuni, beserta sejumlah warga lainnya. Di bawah bimbingan seorang tokoh, mereka tengah mencari sosok Sang Hakim Akhir berjubah putih yang mampu menyelamatkan.

Pada 1947, utusan dari tokoh tersebut pergi ke Baturaja, sekitar 10 km dari Batuputih, untuk bertemu dengan asisten residen pemerintah Belanda. Di situlah mereka bertanya, di manakah bisa ditemukan sosok yang mereka cari itu. ”Kamu bisa menemuinya di Palembang. Bertanyalah kepada Uskup di sana!” tutur Frederikus Samsuddin ‘menirukan’ jawaban sang asisten residen waktu itu.

Tokoh umat tersebut pergi ke Palembang dan menghadap Mgr Henricus Martin Mekkelholt SCJ, Vikaris Apostolik Palembang waktu itu. Menanggapi maksud mereka, Mgr Mekkelholt mengutus Pastor Theodorus Borst SCJ mengunjungi Batuputih. ”Sejak saat itulah, Pastor Borst datang dari Baturaja ke Batuputih dengan naik sepeda. Seminggu sekali Pastor Borst mengajar kami di halaman rumah salah satu warga,” kata Samsuddin (78).


Frederikus Samsuddin [Elis Handoko]

Pada 31 Oktober 1948, ada lima keluarga memberikan diri dibaptis. Jumlah mereka sekitar 24 orang. ”Kami dibaptis oleh Pastor Borst di rumah Bapak Abdoel Hoelik. Itulah Ekaristi pertama di Batuputih ini. Kita ikut-ikutan saja. Kami masih heran karena baru pertama melihat piala yang terbuat dari emas,” kenang Samsuddin sebagai salah seorang baptisan perdana dari suku Ogan.

Tak lama kemudian, penggembalaan dilanjutkan misionaris dari Belanda bernama Pastor Leo Kwanten SCJ. Setiap Sabtu malam, ia mengumpulkan bapak-bapak. Lalu, Minggu sore, giliran ibu-ibu yang mendapat pelajaran agama. Pastor Leo selalu mengabsen yang hadir. Selain pelajaran agama, ia juga mendirikan rumah darurat untuk sekolah, yang sekarang berkembang menjadi SD Xaverius.

Cara hidup jemaat awal ini ternyata menarik bagi sejumlah warga Ogan lainnya. Baptisan gelombang kedua terjadi pada 17 Februari 1949, ada sekitar 10 keluarga yang dibaptis. Angka ini terus bertambah seiring perjalanan waktu.

Menurut statistik 2010, umat di paroki ini berjumlah 3842 orang. Jumlah terbesar berada di stasi pusat Batuputih, yakni 987 jiwa (98 persen suku asli Ogan). Dari jumlah penduduk Batuputih ini, 60 persen di antaranya beragama Katolik.

Selain peduduk asli, ada pula umat lain dari berbagai etnik, seperti Jawa, Batak, Tionghoa, Sunda, dan Flores, yang menyebar di 17 stasi atau ”tempat Misa” dalam sebutan orang Ogan. Stasi paling dekat berjarak 25 kilometer. Sedangkan stasi terjauh berjarak 110 kilometer dengan waktu tempuh empat jam dengan mengendarai mobil.

Kini, Gereja Katolik Batuputih telah berusia lebih dari 60 tahun. Sejak berdirinya, Pastor yang melayani selalu bertempat tinggal di Pastoran St Petrus dan Paulus Baturaja. Paroki ini belum memiliki pastoran yang memadai.